Friday, February 15, 2013

DILEMA SWASEMBADA DAGING SAPI

SWASEMBADA DAGING SAPI UNTUK SIAPA?

Oleh: Chumaidi, SP


Swasembada sapi memang diperlukan supaya terpenuhi kebutuhan daging dalam negeri dan tidak melulu tergantung dari pasokan luar negeri. Konsumsi daging sapi per kapita bangsa Indonesia saat ini mencapai 1,87 kg. Indonesia memerlukan setidaknya 448.000 ton daging sapi per tahun. Dari jumlah tersebut, baru sekitar 85% yang dapat dipenuhi oleh produksi daging sapi dalam negeri dan sisanya masih berasal dari impor.


Konsumsi daging dari tahun ke tahun terus meningkat. Konsumsi daging ideal, 4,9 kg per kapita per tahun. Maka untuk memenuhi jumlah kebutuhan daging dalam negeri yang terus meningkat tersebut maka tak ada cara lain kecuali swasembada jika tidak ingin terus bergantung pada impor.


Harga daging impor lebih murah dari harga daging sapi dalam negeri. Jika tidak ada pembatasan jumlah impor daging maka harga daging sapi di pasaran akan menjadi murah pula dan hal ini akan mengakibatkan peternak sapi lokal terpuruk. Sebaliknya pihak konsumen diuntungkan karena harga daging sapi tersedia dengan harga yang murah meriah.


Jika impor daging sapi ditiadakan sama sekali atau kuotanya lebih rendah dari jumlah kebutuhan maka akan terjadi lonjakan harga yang luar biasa apalagi pada waktu waktu tertentu seperti hari raya keagamaan. Hal ini merugikan konsumen karena harus mengeluarkan biaya yang lebih besar untuk memenuhi kebuthannya dan sebaliknya peternak daging lokal sebagai produsen justru untung.


Inilah dua sisi yang harus diseimbangkan oleh pemerintah yakni sisi konsumen dan sisi produsen dengan mengupayakan tersedianya daging sapi yang sesuai kebutuhan per kapita.


Timbul pertanyaan, kenapa daging sapi impor lebih murah dibandingkan daging sapi dalam negeri padahal daging sapi impor membutuhkan biaya tambahan untuk sampai ke konsumen.? Ini adalah pertanyaan yang harus segera diselesaikan oleh pemerintah. Dan mengapa peternak produsen sapi potong lokal kalah bersaing dengan peternak dari luar negeri? Ini juga pertanyaan yang sampai saat ini belum mampu terselesaikan dengan tuntas.


Secara teori, jika biaya produksi murah maka harga hasil produksi dapat ditekan relatif lebih rendah sebaliknya jika biaya produksi tinggi maka harga hasil produksi juga relatif tinggi untuk menutupi kerugian sebuah usaha produksi. Bukankah negara kita adalah negara agraris dengan potensi daerah yang sangat mendukung dalam penyediaan pakan yang begitu berlimpah untuk kebutuhan ternak? Disini juga masih ada masalah yang segera harus diselesaikan oleh pemerintah secara benar, terarah, berkelanjutan dan tuntas.


Ada beberapa hal yang menyebabkan daging sapi belum swasembada.


Pertama, Persoalan distribusi antara produsen sapi yang ada di daerah pelosok dengan konsumen yang berada di daerah perkotaan yang masih terisolasi sehingga menimbulkan biaya tinggi. Pungutan liar juga ikut andil dalam buruknya distribusi sapi dari produsen sampai ke konsumen.


Kedua, persoalan bibit unggul dan tingkat pemahaman peternak lokal terhadap perkembangan ilmu peternakan yang masih minim sehingga pertumbuhan populasi sapi dan kerbau masih rendah dan kwalitas sapi dan kerbau juga belum meningkat secara signifikan.


Ketiga, persoalan budaya. Walaupun jumlah sapi lokal jumlahnya mencukupi namun kebiasaan masyarakat indonesia yang menjual sapi untuk dipotong pada waktu waktu tertentu seperti hari raya keagamaan karena lebih tinggi harganya dibanding dengan waktu waktu di luar itu membuat daging tidak tersedia dalam jumlah yang mencukupi pada hari hari normal. Tingginya harga di waktu waktu tertentu tersebut sehingga masyarakat mempertahankan sapinya untuk dilepas ke pasar dan menjadikan sapinya sebagai investasi.


Budaya ini tidak akan hilang jika alasan beternak sapi belum menjadi pekerjaan utama melainkan usaha sampingan sehingga peternak merasa tidak harus menjual sapi pada periode tertentu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dan usaha beternak sapi tidak akan menjadi pekerjaan utama jika usaha ternak sapi tidak lebih menguntungkan dibandingkan dengan usaha usaha lain dengan jumlah modal yang sama.


Jika seekor sapi umur 3 tahun di jual dengan harga 8 juta maka jika dibagi 36 bulan maka per bulannya peternak memperolah pendapatan kotor sebesar Rp.222.000, jika biaya sekarung rumput seharga Rp.10.000 dan sehari sapi makan sekarung rumput maka dibutuhkan biaya Rp.300.000 per bulan. Jadi peternak sebenarnya rugi Rp.78.000 per bulan jika sapi dipelihara dari anak sapi yang lahir.


Namun jika sapi dipelihara dari usaha penggemukan mungkin sedikit lebih untung. Jika harga beli sapi 4 juta setelah digemukkan selama 6 bulan sapi terjual dengan harga katakanlah dua kali lipat yaitu 8 juta atau maka pendapatan kotor sebesar 4 juta. Jika dikurangi biaya pakan seperti contoh diatas yaitu 180 karung rumput selama 6 bulan dengan harga Rp.10.000 per karung yang berjumlah Rp. 1.800.000 maka didapat keuntungan bersih 2.200.000 per 6 bulan atau Rp.336.000 per bulan atau Rp. 12.000 per hari dengan modal usaha 4 juta. Sementara dengan modal yang sama untuk usaha yang lain mampu menghasilkan pendapatan yang lebih tinggi sehingga peternak hanya menjadikan usaha ternaknya baik usaha dari anakan maupun pengemukan hanya sebagai usaha sampingan saja atau sekedar hobbi.


Lalu mengapa peternakan di luar negeri bisa mengekpor sapi dengan harga yang lebih murah dari harga sapi lokal apakah mereka tidak rugi apalagi mereka harus menyuap para pejabat dan penguasa di Negara tujuan. Ini adalah PR besar yang harus segera diselesaikan bersama.


Terlalu banyak persoalan yang ada dilapangan yang masih jauh dari harapan membuat persolan swasembada sapi ini tidak akan efektif jika di tangani oleh satu departemen saja. Perlu adanya kerjasaman antar departemen di pemerintahan, pihak ilmuwan serta dukungan pihak keamanan dan masyarakat. Terobosan terobosan harus segera diwujudkan dengan serius dalam dunia nyata dan tidak sekedar wacana dan retorika belaka.Upaya pelaksanaan program swasembada jangan sampai terjebak dengan kasus dugaan korupsi dan suap yang merebak akhir akhir ini dan berhenti ditempat.


Swasembada tidak ada kaitannya dengan korupsi. Korupsi yang terjadi dalam impor daging sapi tidak akan mempengaruhi harga daging sapi. Kecuali produksi sapi lokal tidak ada sama sekali sehinga ketergantungan dengan impor begitu besar yang menyebabkan harga bisa dinaikkan untuk menyeimbangkan biaya yang dikeluarkan karena adanya korupsi dan suap kepada pembuat kebijakan dan pihak yang mempunyai wewenang dalam pengurusan impor daging.


Malah sebaliknya dengan tidak adanya korupsi dan suap importir dapat melepas harga daging sapi menjadi lebih murah yang mengakibatkan peternak lokal lebih menderita lagi karena tidak laku jual dengan harga yang sesuai untuk menutupi biaya produksi sapi lokal yang masih tinggi, distribusi yang masih buruk dan aspek budidaya yang masih relatif mahal.


Korupsi adalah persoalan lain yang juga harus dicegah oleh pihak yang berwenang. Kita semua tentu tidak setuju dengan adanya kasus kasus korupsi dan suap yang tidak hanya telah merugikan negara tapi juga rakyat. Korupsi adalah penyakit yang juga tidak boleh ditunda penyelesaiannya. Namun sekali lagi walau korupsi terjadi dalam persoalan swasembada daging sapi, dan persoalan ini dijadikan berita utama baik di media elektronik maupun media cetak dan menjadi top news hingga berminggu dan berbulan bulan, persoalan korupsi tidak bisa dijadikan alasan belum tercapainya swasembada daging sapi.


Al-kisah, jika swasembada daging sapi telah tercapai dan berjalan sesuai harapan dan semua persoalan di atas sudah terselesaikan dengan manis maka ada satu soal lagi yang harus terjawab. Akankah swasembada tersebut berpihak kepada peternak yang berasal dari kalangan menengah ke bawah ataukah berpihak kepada konsumen yang sebagian besar adalah berasal dari kalangan menengah ke atas yang hidupnya mapan.

No comments:

Post a Comment