Oleh: Chumaidi,SP
Memasuki bulan maulid ini, ada banyak orang sudah menuangkan buah pikirannya dalam kolom opini ini tentang perihal peringatan kelahiran Nabi Besar Muhammad SAW. Pada intinya, ada yang mendukung, dan ada yang menganggapnya bahwa acara peringatan maulid yang berlangsung seperti kondisi hari ini perlu ditinjau ulang, bahkan ada yang menulis dengan bahasa sindiran seperti mengatakan bulan maulid sebagai bulan perbaikan gizi, fase penggemukan, dan lain sebagainya, sehingga yang merasa pro atau “kepedasan” membalasnya lagi dengan semangat gegap gempita di rubrik ini. Merasa perlu ikut juga berdiskusi mengenai masalah maulid ana mencoba menyajikan sejarah maulid dan ragam pendapat para ulama sebagai pelengkap daripada apa yang telah didiskusikan sebelumnya dengan harapan mudah-mudahan tidak menimbulkan polemik lagi dan semakin memperkaya pengetahuan kita tentang maulid.
Sejarah Maulid
Maulid pertama sekali diperingati pada masa Sultan Salahuddin Yusuf al-Ayyubi yang pemerintah tahun 1174-1193 Masehi (570-590 Hijriah) dari Dinasti Bani Ayyub, yang dalam literatur sejarah Eropa dikenal dengan nama "Saladin", berasal dari suku Kurdi, pusat kesultanannya berada di Qahirah (Kairo), Mesir, dan daerah kekuasaannya membentang dari Mesir sampai Suriah dan Semenanjung Arabia. Pada masa itu dunia Islam sedang mendapat serangan-serangan gelombang demi gelombang dari berbagai bangsa Eropa (Prancis, Jerman, Inggris). Inilah yang dikenal dengan Perang Salib atau The Crusade (Cressida). Pada tahun 1099 laskar Eropa merebut Yerusalem dan mengubah Masjid al-Aqsa menjadi gereja. Umat Islam saat itu kehilangan semangat perjuangan (jihad) dan persaudaraan (ukhuwah), sebab secara politis terpecah-belah dalam banyak kerajaan dan kesultanan, meskipun khalifah tetap satu, yaitu Bani Abbas di Bagdad, sebagai lambang persatuan spiritual.
Menurut Salahuddin, semangat juang umat Islam harus dihidupkan kembali dengan cara mempertebal kecintaan umat kepada nabi mereka. Dia mengimbau umat Islam di seluruh dunia agar hari lahir Nabi Muhammad SAW, 12 Rabiul Awal, yang setiap tahun berlalu begitu saja tanpa diperingati, kini dirayakan secara massal. Atas gagasan adik iparnya, Muzaffaruddin Gekburi, yang menjadi atabeg (semacam bupati) di Irbil , Suriah Utara. Untuk mengimbangi maraknya peringatan Natal oleh umat Nasrani, Muzaffaruddin di istananya sering menyelenggarakan peringatan maulid nabi, cuma perayaannya bersifat lokal dan tidak setiap tahun. Adapun Salahuddin ingin agar perayaan maulid nabi menjadi tradisi bagi umat Islam di seluruh dunia dengan tujuan meningkatkan semangat juang, bukan sekadar perayaan ulang tahun biasa.
Pada mulanya gagasan Salahuddin ditentang oleh para ulama, sebab sejak zaman Nabi peringatan seperti itu tidak pernah ada. Lagi pula hari raya resmi menurut ajaran agama cuma ada dua, yaitu Idul fitri dan Idul adha. Akan tetapi Salahuddin menegaskan bahwa perayaan maulid nabi hanyalah kegiatan yang menyemarakkan syiar agama, bukan perayaan yang bersifat ritual alias ibadah, sehingga tidak dapat dikategorikan bid`ah yang terlarang. Ketika Salahuddin meminta persetujuan dari Khalifah An-Nashir di Bagdad, ternyata khalifah setuju. Maka pada ibadah haji bulan Zulhijjah 579 Hijriyah (1183 Masehi), Sultan Salahuddin al-Ayyubi sebagai penguasa Haramain (dua tanah suci Mekah dan Madinah) mengeluarkan instruksi kepada seluruh jemaah haji, agar jika kembali ke kampung halaman masing-masing segera mensosialisasikan kepada masyarakat Islam di mana saja berada, bahwa mulai tahun 580 Hijriah (1184 Masehi) tanggal 12 Rabiul-Awwal dirayakan sebagai hari maulid nabi dengan berbagai kegiatan yang membangkitkan semangat umat Islam.
Salah satu kegiatan yang diadakan oleh Sultan Salahuddin pada peringatan maulid nabi yang pertama kali tahun 1184 (580 Hijriah) adalah menyelenggarakan sayembara penulisan riwayat Nabi beserta puji-pujian bagi Nabi dengan bahasa yang seindah mungkin. Seluruh ulama dan sastrawan diundang untuk mengikuti kompetisi tersebut. Pemenang yang menjadi juara pertama adalah Syaikh Ja`far al-Barzanji. Karyanya yang dikenal sebagai Kitab Barzanji sampai sekarang sering dibaca masyarakat di kampung-kampung pada peringatan maulid Nabi SAW.
Pendapat Para Ulama
Menanggapi perayaan dalam rangka memperingati Maulud Nabi SAW, para ulama berbeda pendapat dalam hal ini. Antara yang membolehkan, bahkan mengharuskan. Dan bahkan ada yang mengharamkan secara mutlak. Artinya menganggap hal tersebut merupakan bid’ah yang mengotori kesucian ajaran Islam. Ada juga yang bersikap pertengahan, membolehkan dengan beberapa persyaratan.
Mereka yang BerpendapatØ ‘Bid’ah’.
Ada beberapa literature bahwa para ulama yang berpendapat perayaan maulid Nabi tersebut merupakan bid’ah seperti Syaikh Abdullah Bin Abdul Aziz Bin Baz, Mufti Saudi Arabia, kata beliau :”Harus dikatakan, bahwa tidak boleh mengadakan kumpul kumpul / pesta pesta pada malam kelahiran Rasulullah SAW, dan juga malam lainnya, karena hal itu merupakan suatu perbuatan baru (bid’ah ) dalam agama, selain Rasulullah belum pernah mengerjakanya, begitu pula Khulafaaurrasyidin, para sahabat lain dan para Tabi’in yang hidup pada kurun paling baik, mereka adalah kalangan orang orang yang lebih mengerti terhadap sunnah, lebih banyak mencintai Rasulullah dari pada generasi setelahnya, dan benar benar menjalankan syariatnya. Dalil yang beliau kemukakan adalah:
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Barang siapa mengada adakan ( sesuatu hal baru ) dalam urusan ( agama ) kami yang ( sebelumnya ) tidak pernah ada, maka akan ditolak”. (H.R. Muttafaqun ‘alaihi).
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Barang siapa mengada adakan ( sesuatu hal baru ) dalam urusan ( agama ) kami yang ( sebelumnya ) tidak pernah ada, maka akan ditolak”. (H.R. Muttafaqun ‘alaihi).
“Sesungguhnya sebaik baik perkataan ialah kitab Allah (Al Qur’an), dan sebaik baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad SAW, dan sejelek jelek perbuatan ( dalam agama) ialah yang diada adakan (bid’ah), sedang tiap tiap bid’ah itu kesesatan” ( HR. Muslim ).
“Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah SAW suri tauladan yang baik bagimu, yaitu bagi orang orang yang mengharap (rahmat ) Allah, dan ( kedatangan ) hari kiamat, dan dia banyak menyebut Allah” ( QS. Al Ahzab,21 ).
”Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu ni’matKu, dan telah Kuridlai Islam itu sebagai agama bagimu” ( QS. Al Maidah, 3 ).
Jika seandainya upacara peringatan maulid Nabi itu betul betul datang dari agama yang diridloi Allah, niscaya Rasulullah menerangkan kepada umatnya, atau beliau menjalankan semasa hidupnya, atau paling tidak, dikerjakan oleh para sahabat.
Syaikh Muhammad bin Shaleh Al 'Utsaimin rahimahullah ketika ditanya tentang peringatan maulid, menjawab:
1. Malam kelahiran Rasulullah SAW tidak diketahui secara qath'i (pasti), bahkan sebagian ulama kontemporer menguatkan pendapat yang mengatakan bahwasanya ia terjadi pada malam ke 9 (sembilan) Rabi'ul Awwal dan bukan malam ke 12 (dua belas). Jika demikian maka peringatan maulid Nabi Muhammad SAW yang biasa diperingati pada malam ke 12 (dua belas) Rabi'ul Awwal tidak ada dasarnya, bila dilihat dari sisi sejarahnya.
2. Di lihat dari sisi syar'i, maka peringatan maulid Nabi SAW juga tidak ada dasarnya. Jika sekiranya acara peringatan maulid Nabi SAW disyari'atkan dalam agama kita, maka pastilah acara maulid ini telah di adakan oleh Nabi SAW atau sudah barang tentu telah beliau anjurkan kepada ummatnya. Dan jika sekiranya telah beliau laksanakan atau telah beliau anjurkan kepada ummatnya, niscaya ajarannya tetap terpelihara hingga hari ini, karena Allah ta'ala berfirman :
“Sesungguhnya Kami-lah yang telah menurunkan Al Qur’an dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya”. (Q.S; Al Hijr : 9)
Dikarenakan acara peringatan maulid Nabi SAW tidak terbukti ajarannya hingga sekarang ini, maka jelaslah bahwa ia bukan termasuk dari ajaran agama Islam. Dan jika ia bukan termasuk dari ajaran agama Islam, berarti kita tidak diperbolehkan untuk beribadah kepada Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya dengan acara peringatan maulid Nabi SAW tersebut.
Rata-rata para ulama yang mengatakan perayaan tersebut merupakan bid’ah, beralasan kepada Al-Ghuluw (berlebih-lebihan) terhadap Rasulullah SAW.. Dan, Al-Israf Wa Attabdzir (boros dan menyia-nyiakan harta) dalam kacamata Islam. (lihat Majmu' Fatawa dan Rasail Syaikh Muhammad bin Shaleh Al 'Utsaimin rahimahullah jilid 2 hal 298-300).
Ulama yang Membolehkan
Tidak sedikit para ulama kita yang berpendapat bahwa peringatan Maulid Nabi merupakan suatu hal yang dibolehkan dalam agama kita. Diantaranya adalah
Pendapat Ibnu Hajar al-Haithami: “Bid’ah yang baik itu sunnah dilakukan, begitu juga memperingati hari maulid Rasulullah”.
Pendapat Abu Shamah (guru Imam nawawi): ”Termasuk yang hal baru yang baik dilakukan pada zaman ini adalah apa yang dilakukan tiap tahun bertepatan pada hari kelahiran Rasulullah SAW dengan memberikan sedekah dan kebaikan, menyantuni fakir miskin, menunjukkan rasa gembira dan bahagia, sesungguhnya itu semua adalah tanda kecintaan kepada Rasulullah SAW dan penghormatan kepada beliau, begitu juga merupakan bentuk syukur kepada Allah atas diutusnya Rasulullah SAW kepada seluruh alam semesta”.
Ulama yang membolehkan dengan syarat.
Ibnu Hajar al-Asqolani dalam kitab Fatawa Kubra menjelaskan:”Asal melakukan maulid adalah bid’ah, tidak diriwayatkan dari ulama salaf dalam tiga abad pertama, akan tetapi didalamnya terkandung kebaikan-kebaikan dan juga kesalahan-kesalahan. Barangsiapa melakukan kebaikan di dalamnya dan menjauhi kesalahan-kesalahan, maka ia telah melakukan bid’ah yang baik (bid’ah hasanah).
Beberapa ulama kontemporer juga membolehkan maulid dengan syarat diisi dengan amalan-amalan yang baik, bermanfaat dan berguna bagi masyarakat. Ini merupakan ekspresi syukur terhadap karunia Allah yang paling besar, yaitu kelahiran Nabi Muhammad dan ekspresi kecintaan kepada beliau. Maulid Nabi SAW juga bisa dipakai sebagai moment untuk mengkonter perayaan-perayaan yang tidak Islami. Maulid bukanlah perkara yang mendasar tapi cuma perkara cabang dari agama ini. Selama tidak melenceng dari aqidah Islam tidak mengapa, hanya sekedar tradisi atau adat budaya. Tetapi kalau dinyatakan sebagai sebuah ritual ibadah maka ini tidak boleh karena itu sudah masuk ke lahan bid’ah. Apalagi dibarengi dengan usaha mempertahankan pendapatnya dengan memakai hadist palsu. Seperti hadist:
"Barangsiapa yang merayakan hari kelahiranku, maka aku akan menjadi pemberi syafa'atnya dihari Kiamat. dan berangsiapa yang menginfaqkan satu dirhaam untuk maulidku maka seakan-akan dia telah menginfaqkan satu gunung emas di jalan Allah." (terdapat dalam kitab Madarijush-Shu’ud. yang menjadi kitab syarah atau penjelasan dari kitab Al-Maulid An-Nabawi karangan Al-Imam Al-’Arif As-Sayyid Ja’far, atau yang lebih dikenal dengan Syeikh Al-Barzanji).Dan dengan bunyi lainnya, baik dinisbatkan kepada Nabi SAW, Sahabat yang empat, maupun para ulama, yang semuanya adalah batil.
Hadist tentang maulid tidak pernah ada di dalam kitab-kitab hadist yang muktabar seperti kitab Shahih Bukhari, Muslim, An-Nasai, Ibnu Majah, At-Tirmizy, Abu Daud, atau kitab-kitab hadits lainnya. Hadist tersebut mungkar karena sanatnya tidak berujung dan tidak berekor. Bila ada yang mengambil hadist ini sebagai dalil maka hal ini sungguh keterlaluan dan kejahilan. (Lihat Hadist-Hadist bermasalah Prof. Ali Mustofa ya'qub hlm.102). Bagaimana mungkin dia bisa dikatakan hadist sementara maulid baru muncul pada masa pemerintahan Salahuddin Al-Ayyubi setelah 570 H.
Menurut pemikiran ulama kelompok ini bahwa peringatan maulid masih diperlukan dengan alasan keterbelakangan umat kita di antara penyebabnya adalah: Tidak mengenalnya mereka terhadap generasi terbaik terdahulu. Dan minimnya semangat mengkaji sejarah perjuangan generasi terbaik. Maka hal ini merupakan salah-satu sebab jauhnya umat ini dari nilai-nilai keislaman. Bahkan, kelalaian mereka semakin parah apabila tidak diberikan peringatan yang mampu mengumpulkan mereka dalam satu moment yang menghadirkan banyak orang.
”Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman”(Q.S.Adz-Dzaariyaat:55)
Islam merupakan ajaran yang sangat bijak dan relevan dengan perkembangan waktu dan tempat. Dan ajaran yang agung ini selalu mengacu kepada rambu yang paling tepat dan menjanjikan. Tidak Ifrath (melampaui batas dalam beribadah dan beramal tanpa ilmu) dan bukan juga ajaran yang mengandung nuansa Tafrith (meremehkan ibadah bahkan menentang ilmu Al Haq).
Peringatan Maulud Nabi SAW akan menjadi hal yang positif apabila:
1. Diangkat dengan niat mengenang jasa perjuangan Rasulullah SAW, dengan itu istisy’ar mahabbatur rasul akan lebih menjiwa di hati umat.
2. Peringatan maulud tersebut jauh dari anggapan ibadah yang masyru’ dalam Islam. Artinya jangan sampai menganggap itu merupakan syari’at yang wajib diadakan.
3. Harus jauh dari Al-Ghuluw dan Israf serta mubadzir. Karena ketiga perbuatan tersebut bukanlah dari Islam.
4. Menajadikan momen tersebut sebagai lahan amal silaturrahim. Karena peringatan tersebut merupakan salah-satu sarana yang mampu mengumpulkan banyak orang yang berasal dari berbagai kalangan dan elit. Sehingga terjalinnya hubungan harmonis penuh nuansa persaudaraan sesama umat Islam. Namun harus di usahakan benar-benar agar tidak terjadi bercampurnya laki laki dan perempuan ( yang bukan mahram ), pemakaian lagu lagu dan bunyi-bunyian, dan lainya yang serupa yang tidak sesuai dengan dakwah Rasulullah SAW.
5. Menjadikan momen tersebut untuk menyampaikan dakwah Islam kepada semua lapisan masyarakat. Dan himbauan –kepada mereka– agar mempelajari sirah Rasulullah SAW dengan pemahaman yang benar tidak berlebihan-lebihan.
Rasulullah SAW bersabda :
“Janganlah kalian berlebih lebihan dalam agama, karena berlebih lebihan dalam agama itu telah menghancurkan orang orang sebelum kalian”.
“Janganlah kalian berlebih lebihan dalam memujiku sebagaimana orang orang Nasrani memuji anak Maryam, Aku tidak lain hanyalah seorang hamba, maka katakanlah : hamba Allah dan Rasul Allah” ( HR. Bukhori dalam kitab shohihnya).
“Janganlah kalian berlebih lebihan dalam agama, karena berlebih lebihan dalam agama itu telah menghancurkan orang orang sebelum kalian”.
“Janganlah kalian berlebih lebihan dalam memujiku sebagaimana orang orang Nasrani memuji anak Maryam, Aku tidak lain hanyalah seorang hamba, maka katakanlah : hamba Allah dan Rasul Allah” ( HR. Bukhori dalam kitab shohihnya).
Bentuk lain dari berlebihan adalah terlalu giat dan bersemangat dalam rangka maulid sementara mereka berani meninggalkan sholat fardhu berjama’ah yang telah jelas diwajibkan bagi muslim.
6. Jangan jadikan momen ini sebagai ajang saling tuding, saling meremehkan, saling menyalahkan, menebarkan fitnah dan lain sebagainya sehingga tercipta perselisihan di antara ummat muslim yang mengakibatkan perpecahan.
Allah SWT berfirman :
“Hai orang orang yang beriman, taatilah Allah, dan taatilah Rasul (Nya), dan Ulil Amri ( pemimpin) diantara kamu, kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah ( Al Qur’an ) dan Rasul ( Al Hadits), jika kamu benar benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama ( bagimu ) dan lebih baik akibatnya” ( QS. An nisa’, 59 ).
7. Tidak beranggapan bahwa pada malam upacara peringatan tersebut Rasulullah SAW datang, sehingga semua berdiri menghormati dan menyambutnya sambil bersalawat, ini merupakan kebatilan dan tidak ada dalil yang jelas. Bahkan sebaliknya Rasulullah SAW pada masa hidupnya melarang para sahabatnya berdiri untuk menyambut dan menghormatinya tatkala beliau datang konon lagi ketika beliau sudah wafat, beliau bersabda;
“Barang siapa suka dihormati orang lain dengan berdiri, maka hendaklah siap mendiami neraka” (H.R. Ahmad)
Rasulullah SAW tidak akan bangkit dari kuburnya sebelum hari kiamat, tidak berkomunikasi kepada seorangpun, dan tidak menghadiri pertemuan pertemuan umatnya, tetapi beliau tetap tinggal didalam kuburnya sampai datang hari kiamat, sedangkan ruhnya ditempatkan pada tempat yang paling tinggi (‘Illiyyin ) di sisi TuhanNya. Sebagaimana Firman Allah dalam Al Qur’an :
“Kemudian sesudah itu, sesungguhnya kamu sekalian pasti mati, kemudian sesungguhnya kamu sekalian akan dibangkitkan ( dari kuburmu ) di hari kiamat” ( QS. Al Mu’minun, 15-16 ).
Rasulullah SAW bersabda :
“Aku adalah orang yang pertama kali dibangkitkan / dibangunkan diantara ahli kubur pada hari kiamat, dan aku adalah orang yang pertama kali memberi syafa’at dan diizinkan memberikan syafa’at”.
“Kemudian sesudah itu, sesungguhnya kamu sekalian pasti mati, kemudian sesungguhnya kamu sekalian akan dibangkitkan ( dari kuburmu ) di hari kiamat” ( QS. Al Mu’minun, 15-16 ).
Rasulullah SAW bersabda :
“Aku adalah orang yang pertama kali dibangkitkan / dibangunkan diantara ahli kubur pada hari kiamat, dan aku adalah orang yang pertama kali memberi syafa’at dan diizinkan memberikan syafa’at”.
Bisakah harapan-harapan di atas mampu dilaksanakan oleh ummat Islam di masa kini yang penuh dengan pengaruh globalisasi dan modernisme dan lemahnya pemahaman yang benar terhadap agama? Mampukah kita mempertahankan maulid ini sebagai bid’ah yang hasanah? Akankah maulid ini sudah menyentuh substansi yang sebenarnya seperti yang dicita-citakan oleh Salahuddin al-Ayyubi? Sejauhmana peran maulid dalam merubah perilaku masyarakat kearah sunnah Nabi yang telah diwariskan kepada kita semua. Inilah sederetan pertanyaan yang belum mampu kita jawab bersama. Namun, mau tidak mau, hal tersebut lebih mudah untuk diusahakan ketimbang membubarkan sebuah tradisi yang sudah mendarah daging.
Dan Semoga maulid ini betul-betul menjadikan moment untuk mencintai Rasulullah SAW lengkap dengan sunnah-sunnah yang telah beliau tinggalkan, sesuai firman Allah; "katakan, jika kamu mencintai Allah, maka ikutilah aku niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu. Allah maha pengampun lagi maha penyayang".(Q.S. Ali Imran:31)
Apabila mengambil keputusan untuk mengadakan maulid maka dapat melakukannya dengan lebih bermakna dan tidak mengundang laknat dari Allah SWT sebagai akibat berbagai pelanggaran yang terikutsertakan baik dalam hal pemahaman (niat) maupun ritual-ritual yang bertentangan dengan syari’at. Dan apabila tidak jadi memperingatinya maka telah jelas pula akan dalil-dalilnya. Sehingga harapan kita semua tidak ada lagi “perang dingin”, saling tuding, saling menghina apalagi saling mengkafirkan antar sesama muslim dalam hal maulid Rasulullah SAW ini.
“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka(muslim)…...”. (Q.S. Al-Fath: 29).
Akhirul kalam, kesimpulan dari tulisan ini diserahkan sepenuhnya kepada pembaca. Penulis mengharapkan kepada semua lapisan masyarakat muslim khusus di Aceh agar dapat memahami duduk persoalan sebenarnya tentang peringatan maulid Nabi SAW sehingga bisa menempatkan hal tersebut sesuai dengan proporsinya. Berfikir jernih dan tidak fanatik buta serta terus bergerak mencari kebenaran yang hakiki sehingga tidak ada lagi keraguan.
Akhirul kalam, kesimpulan dari tulisan ini diserahkan sepenuhnya kepada pembaca. Penulis mengharapkan kepada semua lapisan masyarakat muslim khusus di Aceh agar dapat memahami duduk persoalan sebenarnya tentang peringatan maulid Nabi SAW sehingga bisa menempatkan hal tersebut sesuai dengan proporsinya. Berfikir jernih dan tidak fanatik buta serta terus bergerak mencari kebenaran yang hakiki sehingga tidak ada lagi keraguan.
Semoga ada manfaatnya.
No comments:
Post a Comment