Pilih SMA atau
SMK?
Oleh : Chumaidi,
SP
Bulan Juni adalah bulan dimana
permulaan tahun ajaran baru dalam kalender pendidikan. Pada bulan ini para
orang tua sibuk mendaftarkan anak-anaknya ke berbagai jenjang pendidikan mulai
dari tingkat SD, SLTP, dan SLTA. Sejak beberapa bulan yang lalu para pengelola
Satuan Pendidikan telah menyebarkan aneka bentuk promosi sekolahnya ke berbagai
pelosok desa dan sudut kota dengan harapan para calon siswa dapat memilih
sekolahnya untuk melanjutkan pendidikan mereka. Dari sekolah yang biasa-biasa
saja sampai sekolah yang menerapkan metode pendidikan baru, sibuk menebar
pesonanya, seperti beberapa sekolah yang menawarkan sistim pendidikan terpadu
atau sekarang lebih sering disebut dengan sekolah boording school, dimana siswa
diasramakan dengan sistem pendidikan yang terpadu antara kurikulum pendidikan
yang diwajibkan pemerintah plus kurikulum tambahan yang biasanya mengedepankan
bobot dibidang agama dan keterampilan dengan berbagai corak dan ragam yang
berbeda pada setiap sekolah.
Pada Bulan Juni ini pula, para orang
tua sangat peka terhadap informasi tentang sekolah apa saja yang muncul dalam
berbagai bentuk informasi dan promosi. Baik itu dari selembar spanduk yang
dipajang di jalan-jalan protokol, suara radio, termasuk “radio meu-igoe”,
maupun menghadiri undangan open house yang diadakan oleh beberapa sekolah.
Tujuan mereka hanya satu, menginginkan anak-anaknya dapat melanjutkan
pendidikan yang lebih tinggi. Namun jika kita coba bertanya kepada orang tua
dan siswa sendiri, tentang alasan mereka memilih sekolah yang akan mereka
jalani, kebanyakan dari mereka tidak mempunyai tujuan yang jelas, bahkan ada
beberapa siswa yang kami wawancarai mereka tidak tahu mengapa harus sekolah
pada sekolah yang sedang mereka lamar. Pokoknya sekolah, biar jadi anak
sekolahan, begitu ketus mereka.
Hal inilah yang membuat beberapa oknum
dari segelintir sekolah yang memanfaatkan keadaan untuk menarik minat para
orang tua dan siswa dengan cara-cara yang tidak terpuji. Seperti mencabut
spanduk sekolah lain dan menggantikan dengan spanduk sekolahnya, atau membayar
lebih mahal agar spanduk sekolah lain di geser ke tempat yang kurang
menguntungkan. Bahkan dari pengamatan kami ada beberapa tempat yang diklaim
milik sekolah tertentu sehingga tidak boleh spanduk sekolah lain berada di
situ. Persaingan tak sehat ini kerap terjadi dibulan Juni ini, dan ketegangan
mulai mereda setelah bulan Juni berlalu. Memang lucu dan menggelikan.
Jumlah siswa yang banyak seakan telah
menjadi tolok ukur keberhasilan, kemajuan, kehebatan sebuah sekolah, selain tingkat
kelulusan UN yang tinggi, setidaknya dimata masyarakat awam. Tidak jarang para
orang tua dan siswa yang merasa bangga karena dapat bersekolah di tempat yang
dianggap sebagai sekolah favorit. Sebaliknya ada yang lemas, lesu tanpa gairah
jika hanya dapat jatah bersekolah di tempat yang kurang favorit.
Masyarakat kita yang cenderung berfikir
praktis dan asal jadi dalam hal menyekolahkan anaknya ke jenjang yang lebih
tinggi dan bergengsi tanpa mempertimbangkan peluang kerja, perlu diberikan
informasi yang benar, efektif dan berkesinambungan, baik oleh pihak pemerintah
maupun media massa tentang kebutuhan pendidikan yang tepat buat anak-anak
sesuai bakat dan kemampuan serta peluang kerja. Supaya tidak terus tercipta
calon-calon pengangguran berpendidikan, yang semakin lama semakin banyak
bagaikan bom waktu yang siap meledak.
Sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA)
merupakan jenjang pendidikan yang sangat penting. Oleh karena itu pemerintah
menaruh perhatian sangat serius terhadap jenjang pendidikan ini. Kelulusan
peserta Ujian Nasional (UN) SMA/MA Tahun Ajaran 2010/2011 mencapai 99,22 %.
Dari 1.461.941 peserta UN SMA/MA, jumlah peserta yang lulus sebanyak
1.450.498. Lulusan SMA/MA yg diterima di perguruan tinggi setiap
tahun di seluruh Indonesia maksimal 17 %. Sisanya sebagian kecil bekerja
sebagai buruh kasar karena tidak punya keahlian atau ketrampilan, dan sebagian
besarnya adalah pengangguran. Berarti setiap tahun ada jutaan pengangguran
lulusan SMA/MA tercipta, sementara pemerintah kewalahan dalam mengatasi pengangguran
yang telah ada.
Fakta inilah yang membuat pemerintah, dalam hal ini Depdiknas, sadar dan
mengantisipasinya dengan berbagai kebijakan yang tertuang dalam renstra Program
Penguatan Kebijakan Depdiknas dengan RPJM Bappenas, salah satunya adalah pengembangan
sekolah berbasis keunggulan lokal di setiap kabupaten/kota. Khusus mengenai SMA
dan SMK Depdiknas memiliki kebijakan untuk meningkatkan rasio SMK lebih besar
dari pada SMA, yaitu 70% SMK dan 30% SMA pada akhir tahun 2015. Kebijakan ini
merupakan salah satu bentuk kesadaran bahwa bangsa Indonesia masih banyak
memerlukan tenaga kerja tingkat menengah dari pada tingkat tinggi.
Dibanding dengan sekolah SMA atau MA, lulusan SMK memiliki keunggulan
dibidang keterampilan sesuai dengan bidang keahlian atau jurusan yang siap
bekerja. Di SMK juga diterapkan sistem pendidikan ganda atau magang pada dunia
usaha dan dunia indstri (DU/DI) yang membuat siswa SMK memiliki kompetensi yang
siap dan sesuai dengan kebutuhan dunia kerja.
Namun informasi ini, nampaknya kurang tersampaikan dengan baik kepada
masyarakat, sehingga SMK yang telah ada di suatu wilayah sangat “miskin” siswa.
Ditambah lagi dengan stigma-stigma yang buruk terhadap SMK yang melekat dalam
benak masyarakat, baik yang sengaja dilekatkan atau memang benar adanya,
sebagai sekolah anak-anak dari orang tua yang kurang mampu, sekolah anak
buangan dari sekolah lain, sekolah anak IQ jongkok, dan lain sebagainya.
Padahal stigma itu tidak benar adanya, yang benar adalah di SMK dapat
bersekolah anak-anak yang seperti itu. Dan tidak tertutup kemungkinan,
anak-anak lulusan SMK dapat melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi sesuai
bidang keahlian. Kebanyakan mereka dapat menempuh kuliah sambil bekerja.
Sungguh sesuatu prestasi yang membanggakan, jika dapat kuliah tanpa membebani
orang tua. Lebih mandiri dan matang.
Kita harapkan para orang tua di Bulan Juni tahun ini tidak salah pilih
sekolah buat anak-anak mereka. Pilihlah sekolah kejuruan yang menjamin
anak-anak anda siap bekerja dan mampu melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi
dengan keringatnya sendiri tanpa bantuan anda. Dan anda tidak perlu takut punya
banyak anak karena khawatir tidak mampu memberi pendidikan yang layak buat
mereka. Jika Sekolah kejuruan yang ada tidak mampu menampung anak-anak anda, tidak
usah khawatir, sekolah kejuruan yang baru akan segera dibangun. Bukankah tahun
2015 rasio SMK : SMA, harus tercapai 2 : 1. Penuhi anak-anak anda ke SMK,
raih prestasi. SMK dari anda, oleh anda dan untuk anda. SMK? bisa.!
No comments:
Post a Comment